Judul
:Presiden:
Manusia ½ Binatang
Pengarang :Eduardus Lemanto
Penerbit :John
Paul II - Publishing, Jakarta 2013
Jumalah halaman :200 halaman
Ukuran :14,5
cm x 20,5 cm
Kecemasan akan ketidakjelasan arah perjalanan
bangsa Indonesia merupakan sebuah keharusan, setidaknya sejauh kita masih
merasa diri sebagai bangsa Indonesia. Maraknya berbagai aksi perampokan terhadap negara oleh para pejabat negara, maruknya para pengusaha
mengeruk seluruh sumber daya alam yang dimiliki Indonesia demi keuntungan
pribadi, dan melempemnya hukum terhadap berbagai kejahatan merupakan indikator
kegagalan besar bagi sebuah negara.
Atas nama demokrasi, berbagai ketidakadilan
sering kali dilegitimasi. Sementara di sisi lain kekuasaan Presiden sebagai
eksekutif utama (kepala pemerintahan dan kepala negara) yang menukangi negara dan
bangsa Indonesia seringkali bersembunyi di balik enigma retorika. The ruling class (baca: klompok penguasa)
di Indonesia tidak memainkan peran yang memungkinkan terjadinya kebaikan bagi
banyak orang. Eduardus Lemanto, penulis
buku Presiden Manusia ½ Binatang, melihat dengan begitu jeli celah kelemahan
yang dimiliki oleh penguasa di Indonesia.
Bila ditilik
dari judulnya (Presiden: Manusia ½
Binatang), tersirat pemikiran-pemikrian yang subjektif-emosional atas
kekuasaan Presiden yang penuh dengan litani kegagalan. Judulnya memberikan
kesan akan luapan emosi penulis sebagai masyarakat kepada penguasa (Presiden)
yang telah salah mengurus Negara ini. Namun, memberikan kesan negatif atas
sebuah buku (pemikiran) hanya karena judulnya sangatlah tidak bijak. Buku tulisan
Lemanto ini tidak berisi tentang sumpah serapah kepada Presiden, apalagi
menghinanya. Lemanto hendak menuangkan kegelisahan metodis atas fenomena bangsa
Indonesia yang salah urus oleh para penyelenggara Negara, yang di sini
direpresentasikan oleh Presiden.
Buku tulisan
Lemato ini mengajak kita semua untuk mendiskursuskan kembali kekuasaan
Presiden. Bukan tentang ‘apanya’ kekuasaan, melainkan lebih kepada ‘siapanya’
(tentang subjek yang berkuasa). Tentu menjadi pertanyaan menarik adalah:
Mengapa harus “siapanya kekuasaan” yang harus menjadi sebuah diskusrsus?
Dalam buku tersebut Lemanto tidak
berpretensi untuk menyalahkan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan.
Penulis malah begitu mendukung agar terealisasinya sistem demokrasi yang
bertujuan untuk kebaikan bagi semua orang. Tetapi ada persoalan di sini, bahwa
banyak orang yang mengagung-agungkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang
paling ideal untuk pemerintahan modern. Namun, sebaik apapun sebuah sistem,
bila orang yang menjalankannya (siapanya) tidak baik maka sistemnya pun menjadi
tidak baik. Sehingga Lemanto lebih consern
dalam mendiskusrsuskan ‘siapanya’ kekuasaan. Sebab sebuah sistem yang buruk
bila dijalankan oleh orang yang baik, ada kemungkinan untuk mengalami perubahan
ke arah yang lebih baik. Tapi tidak berlaku sebaliknya.
Buku Presiden Manusia ½ Binatang, tulisan Eduardus Lemanto ini terdiri
atas tujuh bab. Antara satu bab dengan bab yang lainnya sangat berkaitan
sehingga memang butuh keseriusan saat membacanya. Membaca bab-bab selanjutnya
selalu mengandaikan telah membaca bab-bab sebelumnya. Kata-katanya
ringan/renyah dan sarat makna. Untuk membacanya dengan cepat tentu tidak
membutuhkan waktu yang lama. Tapi untuk memahami alur pemikirannya sehingga
kita tidak jatuh kepada justifikasi permukaan, tentu sangat dibutuhkan
keseriusan (sebab buku ini sebuah kajian filosofis atas kekuasaan).
Bagi saya, membaca buku tulisan
Eduardus Lemanto ini memiliki kenikmatan-kenikmatan tersendiri (ngeri-ngeri
sedap) dan pada akhirnya menemukan katarsis. Lembar demi lembar buku tulisan (pemikiran)
Lemanto ini akan membuat ada mengalami berbagai ketegangan berpikir, situasi
emosional yang fluktuatif, sebab gaya bahasanya sangat sinikal tanpa basa-basi dan dikemas dengan sangat menarik. Setelah
satu halam selesai anda akan segera melahap halaman berikutnya. Membaca tulisan
Lemanto ini, membuat saya memiliki horison baru tentang esensi dari sebuah
kekuasaan, terutama tentang siapanya Presiden. Selamat membaca.
Fernandes Nato Wellarana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar