Senin, 12 Oktober 2015

RESENSI BUKU: PRESIDEN MANUSIA 1/2 BINATANG

Judul                            :Presiden: Manusia ½ Binatang
Pengarang                   :Eduardus Lemanto
Penerbit                      :John Paul II - Publishing, Jakarta 2013
Jumalah halaman        :200 halaman
Ukuran                         :14,5 cm x 20,5 cm

               


Kecemasan akan ketidakjelasan arah perjalanan bangsa Indonesia merupakan sebuah keharusan, setidaknya sejauh kita masih merasa diri sebagai bangsa Indonesia. Maraknya berbagai aksi perampokan terhadap negara oleh para pejabat negara, maruknya para pengusaha mengeruk seluruh sumber daya alam yang dimiliki Indonesia demi keuntungan pribadi, dan melempemnya hukum terhadap berbagai kejahatan merupakan indikator kegagalan besar bagi sebuah negara.

Atas nama demokrasi, berbagai ketidakadilan sering kali dilegitimasi. Sementara di sisi lain kekuasaan Presiden sebagai eksekutif utama (kepala pemerintahan dan kepala negara) yang menukangi negara dan bangsa Indonesia seringkali bersembunyi di balik enigma retorika. The ruling class (baca: klompok penguasa) di Indonesia tidak memainkan peran yang memungkinkan terjadinya kebaikan bagi banyak orang.  Eduardus Lemanto, penulis buku Presiden Manusia ½ Binatang, melihat dengan begitu jeli celah kelemahan yang dimiliki oleh penguasa di Indonesia.

Bila ditilik dari judulnya (Presiden: Manusia ½ Binatang), tersirat pemikiran-pemikrian yang subjektif-emosional atas kekuasaan Presiden yang penuh dengan litani kegagalan. Judulnya memberikan kesan akan luapan emosi penulis sebagai masyarakat kepada penguasa (Presiden) yang telah salah mengurus Negara ini. Namun, memberikan kesan negatif atas sebuah buku (pemikiran) hanya karena judulnya sangatlah tidak bijak. Buku tulisan Lemanto ini tidak berisi tentang sumpah serapah kepada Presiden, apalagi menghinanya. Lemanto hendak menuangkan kegelisahan metodis atas fenomena bangsa Indonesia yang salah urus oleh para penyelenggara Negara, yang di sini direpresentasikan oleh Presiden.

Buku tulisan Lemato ini mengajak kita semua untuk mendiskursuskan kembali kekuasaan Presiden. Bukan tentang ‘apanya’ kekuasaan, melainkan lebih kepada ‘siapanya’ (tentang subjek yang berkuasa). Tentu menjadi pertanyaan menarik adalah: Mengapa harus “siapanya kekuasaan” yang harus menjadi sebuah diskusrsus?

Dalam buku tersebut Lemanto tidak berpretensi untuk menyalahkan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan. Penulis malah begitu mendukung agar terealisasinya sistem demokrasi yang bertujuan untuk kebaikan bagi semua orang. Tetapi ada persoalan di sini, bahwa banyak orang yang mengagung-agungkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang paling ideal untuk pemerintahan modern. Namun, sebaik apapun sebuah sistem, bila orang yang menjalankannya (siapanya) tidak baik maka sistemnya pun menjadi tidak baik. Sehingga Lemanto lebih consern dalam mendiskusrsuskan ‘siapanya’ kekuasaan. Sebab sebuah sistem yang buruk bila dijalankan oleh orang yang baik, ada kemungkinan untuk mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Tapi tidak berlaku sebaliknya.

Buku Presiden Manusia ½ Binatang, tulisan Eduardus Lemanto ini terdiri atas tujuh bab. Antara satu bab dengan bab yang lainnya sangat berkaitan sehingga memang butuh keseriusan saat membacanya. Membaca bab-bab selanjutnya selalu mengandaikan telah membaca bab-bab sebelumnya. Kata-katanya ringan/renyah dan sarat makna. Untuk membacanya dengan cepat tentu tidak membutuhkan waktu yang lama. Tapi untuk memahami alur pemikirannya sehingga kita tidak jatuh kepada justifikasi permukaan, tentu sangat dibutuhkan keseriusan (sebab buku ini sebuah kajian filosofis atas kekuasaan).

Bagi saya, membaca buku tulisan Eduardus Lemanto ini memiliki kenikmatan-kenikmatan tersendiri (ngeri-ngeri sedap) dan pada akhirnya menemukan katarsis. Lembar demi lembar buku tulisan (pemikiran) Lemanto ini akan membuat ada mengalami berbagai ketegangan berpikir, situasi emosional yang fluktuatif, sebab gaya bahasanya sangat sinikal tanpa basa-basi dan dikemas dengan sangat menarik. Setelah satu halam selesai anda akan segera melahap halaman berikutnya. Membaca tulisan Lemanto ini, membuat saya memiliki horison baru tentang esensi dari sebuah kekuasaan, terutama tentang siapanya Presiden. Selamat membaca.



Fernandes Nato Wellarana